Cakrawala muda,
matari membentang caya! (teriakmu siang ini)
Apalah guna pemuda!
Tokh, mawar yang kemarin merekah-megah
kini jadi debu dikacau arah.
Jadi apa manusia?
matari bosan juga kurasa.
Pulang sayang,
sebelum tanah keburu hitam
tempat bersilang segala pitam.
Jadilah mengerti!
Itu tangan dan kaki,
suara dan segala bunyi,
bukanlah besi
yang dengan senanghati
bisa kautusukkan ke pantat babi.
Kira kaukah
selongsong peluru?
Tembus barisan berpistol-bersepatu,
dengan modal kertas kumal di saku
dan sebuah hati yang teramat lugu?
Sayang, kulihat kaki ibumu hampir lumpuh
terus terisak, terus bersimpuh
airmatanya membasahi bibir sumur yang berlumut,
memohon pada Tuhan dan terus berlutut
semoga jangan datang maut,
menekan-nekan jidatmu ke ketiak rumput.
Sayang, perlu kau menumpah darah?
'ikuti jejak gempita semua arah,
jadi boneka:
diseret-seret gairah sejarah?
بسم الله الرحمن الرحيم
Home » wirjosandjojo » Syair Apatis
Rabu, Oktober 20, 2010
Selidik
Tag
0 komentar:
Posting Komentar