Tubuhmu beku
di timbunan daun bambu
di tepi jalan
tanpa gairah, tanpa naungan
Mukamu pucat-kurus,
tak terurus
Siapa berdosa?
bukan itu yang hendak kutanya
Nyawa itu tetap nyawa!
begitu juga berjuta lainnya
Tapi mengapa seolah Kau biarkan,
Iblis dan segala setan
bebas mengupil
dan tertawa di jalan.
Suratkabar dengan lugunya
mewartakan bahwa kini dan nanti
Tuhan sudah masuk lemari
biar membusuk, lemas lalu mati
atau dicor saja dalam jembatan
biar lalu-lintas selalu aman
dan ekonomi naik-terbang ke bulan.
Aku menangis
dan terus bertanya
siapa yang pantas 'tuk dibela?
Aku terus menangis
dan tetap bertanya
siapa yang pantas 'tuk dibela?
Tandas-habis itu tangis
saat seorang kawan
yang asalnya sering kulupa:
Jombang atau Lamongan?
menyampaikan surat bergaris
dengan sebuah pita hitam yang manis.
Sejuta cahaya berbaris!
Ya Tuhan,
begitukah keadilan?
Ada banyak topeng
yang menjelma jadi muka
Rugi dan laba jadi pegangan
agama dan budaya ditaruh di bagasi
bawa ke jembatan
lalu dibuang ke kali
hingga manusia selalu kaget
dan cerewet
saat Kau kirim kematian
dengan bentuk
yang mengundang kutuk.
Tuhanku, biar suratkabar berkoar-koar
aku tak peduli!
biar kuhapus sendiri
ini noda di pipi.
Alhamdulillah merekah
dan persetan segala keluh-kesah.
بسم الله الرحمن الرحيم
Home » wirjosandjojo » Cahaya Tetap Nyala
Kamis, Oktober 21, 2010
Selidik
Tag
0 komentar:
Posting Komentar