بسم الله الرحمن الرحيم

About

Nisan: Keterpukauan Chairil

                             NISAN

                                    untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keredlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertachta

Chairil Anwar - 1942

I
Dengan segala kerendahan hati karena hanya Allah yang paling tahu segala isi pikiran dan  hati manusia, mari katakan ini adalah usaha untuk menghampiri bukan untuk  menjabarkan semurni-murninya isi sajak Chairil yang satu ini.

II
Apa yang sesungguhnya isi perasaan Chairil yang kemudian tersampaikan menjadi sajak  ini setelah mendengar warta bahwa neneknya meninggal? Kekaguman atau protes?

III
Pikiran saya lebih cenderung menyetujui suara dalam diri saya yang mengatakan bahwa  Chairil terpukau. Kemudian keterpukauan ini melahirkan rasa kagum atau kecewa, saya tidak yakin dengan pasti mana yang sungguh ada.

IV
Sebelum masuk ke dalam daerah isi, bolehlah kita membahas keindahan yang dapat kita temukan:
kalbu-debu/tiba-tachta (rima luar u/a/u/a)
(d)ebu (d)an (d)uka (alliterasi "d")
(t)iba (t)ak ku(t)ahu se(t)inggi i(t)u a(t)as (asonansi "t")

V
Bukan kematian benar menusuk kalbu". Baris pembuka yang langsung, hanya dengan pengantar "untuk nenekanda". Bagi Chairil bukan kematian sang nenek yang menusuk kalbunya, tapi keridlaan sang nenek untuk menerima segala yang tiba (kematian? akhir perjalanan manusia). Jadi bukan kematian itu sendiri yang menusuk kalbu Chairil, tetapi cara sang nenek dalam menghadapi kematian, yaitu keridlaan sang nenek untuk menerima bahwa perjalanan hidupnya hanya sampai situ. Bahwa nenek yang sejak Chairil kecil selalu sayang padanya kini tidak ada lagi, malah menyerah pada kematian. Bukan  kematian neneknya yang jadi fokus Chairil, tapi keridlaan neneknya untuk meninggalkan Chairil di dunia yang penuh debu dan duka, dunia debu dan duka maha Tu (h)an.

Ini salah satu pemahaman jika mengambil baris ketiga dan keempat sebagai suatu kesatuan "Tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertachta".

Intinya Chairil terpukau dengan "penerimaan" neneknya untuk menerima segala putusan (tiba) Tuhan untuk mati dibanding bersama Chairil terus menjalani hidup di dunia yang isinya debu dan duka. Chairil terpukau dan kecewa, sehingga sajak ini menjadi tanda ketidaksetujuannya.

VI
Kita juga bisa mengambil simpulan yang berbeda melalui penghampiran lain yang malah menunjukkan adanya perumpamaan yang kuat. Pertama, sajak ini berkepala "Nisan". Nisan sendiri berarti batu atau kayu penanda pada kubur. Biasanya bentuk nisan sedikit menjulang ke atas. Dan kunci selanjutnya ada pada "setinggi itu atas debu dan duka". Nisan yang tinggi di atas debu (tanah gembur penimbun jenazah) dan duka yang ditinggalkan. Betapa jauh, betapa hati Chairil tertusuk demi melihat/membayangkan nisan yang jauh lebih tinggi dari timbunan tanah, seakan sang nenek begitu nrimo menjauhkan diri dari tanah dan kesedihan.

VII
Tunggu dulu! Ingat! Bukan "setinggi itu (di) atas debu dan duka", tetapi "setinggi itu atas debu dan duka". Tak ada "di" pada baris ketiga, bisa jadi karena memang Chairil dalam sajak-sajaknya tidak membiarkan satu kata pun yang tidak perlu ada. Padat. Atau maksudnya memang "atas" sebagai "atas", jadi bukan "di atas".  Jadi mungkin, tersisihlah kemungkinan yang saya katakan pada baris VI.

VIII
Sebenarnya yang paling membuat saya bingung adalah "maha tuan bertachta". Pada penghampiran pertama saya mengartikannya sebagai kalimat keterangan dari "duka". 

IX
“debu dan duka maha tuan bertachta” bisa juga bermakna kematian. Alasannya? “Keredlaanmu menerima segala tiba”. Apa yang tiba?

“debu dan duka” mudah sekali dihubungkan dengan kematian. “debu” ya tanah. Manusia dari debu kembali ke debu. “duka” ya kesedihan sebagai akibat adanya kematian. “debu dan duka maha tuan bertachta” ya kematian yang Tuhan atur. “Kematian Tuhan” dengan stuktur serupa dengan “rokok Johnny”, bukan “sedihku”. “Kematian” kata benda bukan “mati” kata sifat.

X
Kemungkinan pembacaan sajak ini adalahsebagai berikut (dengan menggunakan tanda /, //, dan ///),

Bukan kematian benar/ menusuk kalbu//
Keredlaanmu/ menerima segala tiba//
Tak kutahu/ setinggi itu atas debu/
dan duka/ maha tuan bertachta///

atau

Bukan kematian benar/ menusuk kalbu//
Keredlaanmu/ menerima segala tiba/
Tak kutahu/ setinggi itu atas debu
dan duka/ maha tuan bertachta///

atau

Bukan kematian benar/ menusuk kalbu//
Keredlaanmu menerima segala tiba/
Tak kutahu setinggi itu/ atas debu
dan duka/ maha tuan bertachta///

XI
Masalahnya, seni tulis punya keterbatasan. Dia tidak bisa menunjukkan penekanan seperti yang ada pada suara. Seni tulis hanya punya tanda baca. Sehingga tanda baca pada teks asli dari penyair betul-betul musti perlu diperhatikan.

XII
"dan" pada awal baris keempat tidak menggunakan huruf kapital seperti yang dapat kita temukan pada baris-baris yang lain, sehingga kemungkinan baris ketiga dan kedua dibaca sebagai suatu kesatuan amatlah besar.

XIII
Kembali ke "maha tuan bertachta", apa maksudnya? "tuan" sebagai "tuhan"? Atau berfungsi sebagai keterangan penyangatan atas "duka" . Jadi kira-kira begini: keridlaan sang nenek ternyata lebih tinggi dari sedih (duka)-nya Tuhan.

XIV
Karena samarnya sajak ini, "tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertachta" sebagai balasan dari "keridlaanmu menerima segala tiba", keterpukauan Chairil bisa mengarah pada kekaguman, bisa mengarah pada kekecewaan.

XV
Tambahan saja, potongan lirik lagu Caramu-nya Monty Tiwa yang mungkin tidak ada kaitannya dengan sajak ini,

yang kuingat darimu
adalah caramu
yang dapat membuatku
tak ingin tertidur
saaat malam tiba

yang kuingat darimu
adalah caramu
yang dapat membuatku
tak ingin melepas
saat pagi tiba

adalah cara kamu
saat engkau pergi dariku

.........

XVI Begini kira-kira penutup ulasan pendek singkat ini,

Chairil terpukau mengapa neneknya begitu ridla dalam menerima kematian. Keterpukauan ini bisa jadi “perkenalan pertama” Chairil dengan kematian yang kemudian hampir selalu menjadi semacam tema dalam sajaknya yang kemudian. Ada apa dengan dengan kematian? Mengapa musti ridla pada kematian yang memutus manusia pada dunia? Chairil, yang tidak bisa diam dan bersetuju dengan apa saja kemudian sadar (bukan tahu) bahwa selama ini ada kematian yang mengikuti tiap kehidupan manusia. Pada tiap perjumpaan, ada perpisahan yang lahir bersamanya. Atau “sekali berarti/sudah itu mati” sehingga timbul kesadaran bahwa dalam hidup banyak sekali hal yang perlu dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

Mungkin, mungkin inilah mengapa Chairil pada sajak yang lahir kemudian menyatakan ingin hidup seribu tahun lagi yang boleh dibilang masih senada dengan “kami sudah coba apa yang kami bisa/tapi kerja belum selesai, belum apa-apa”.

Mbuhlah...
-ditulis dengan seenak aliran pikiran dalam kepala-


Utan Kayu, Kamar 8
26 Juni 2012, selesai 23:21

0 komentar:

Posting Komentar

Selidik

x

Tag