بسم الله الرحمن الرحيم

About

Analisa Ringan Sajak Chairil Anwar "Derai Derai Cemara"




DERAI DERAI CEMARA

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949


---

"Ngga tau jg nih saya lagi suka puisi CH yg ini, bisa jadi ingin tahu jg apa mksd dia dulu bwt puisi ini? Ada yg bs jelasin?"

---

maksud dia dulu bikin ni puisi? siapa yang tahu? itu pertanyaan yang mahasulit lagi mahagundul, toh orangnya sudah meninggal.  kalau pertanyaannya diubah, "apa sih isi puisi ini?", atau pakai bahasa latah "apa sih pesan yang mau c.a bilang?" atau "puisi ini menceritakan apa?", mungkin begini:

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

pertama, mari bahas kesan. karena pada bait pertama ada gambaran visual, tapi dengan alur mundur. chairil sebagai yang menyaksikan, bukan alien yang menyebutkan runtutan atau semacam kronologi. maksud saya, kok bukan angin dulu yang sebut, kok derai cemaranya. itu kan mundur (atau apa istilahnya, cuma mundur itu yang lewat di kepala saya). 

selanjutnya, mungkin "malam" artinya "kematian". cemara menderai sampai jauh, "jauh", bukan cemara berarti chairil sendiri, dan jauh bukan berarti sudah jauh perjalanan hidup. bukan. tapi, apa ya. saya agak susah menjelaskannya, apalagi judulnya derai derai cemara dan chairil adalah orang yang sangat pemilih (baca konsepnya tentang wahyu), jadi tentunya "cemara menderai sampai jauh" ini adalah pembuka yang dalam maknanya. kalau tidak dalam kenapa itu dijadikan judul?

Begini sajalah, inti puisi ini menurut saya adalah penyair yang dalam "Aku" sangat berani menantang waktu dan kematian dengan mengatakan dengan tegas "aku mau hidup seribu tahun lagi" akhirnya sadar dia akhirnya akan kalah juga. ada keyakinan yang goyang "ada beberapa dahan di tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam" "tapi dulu memang ada suatu bahan/yang bukan dasar perhitungan kini". perhatikan juga "dahan" dan "bahan", ada hubungan di situ selain rima.

anda terlalu mengada-ada! spekulan!

well, saya tidak tahu apa isi puisi ini, toh puisi bukan hanya urusan isi atau pesan belaka. ada soal tubuh puisi yang punya bagian besar dalam membedakan mana puisi jelek mana puisi bagus.

entahlah, gambaran bait pertama sangat menakutkan menurut saya. menakutkan yang halus dan lembut. (daun?) cemara yang gugur dan terbang sampai jauh (batas penglihatan), agar menderai tentunya musti ada angin kan? tapi bukan angin yang dia bilang di baris selanjutnya, tapi "terasa hari akan jadi malam", perhatikan, ini gak sekadar "oh, kayanya mau malem deh". bukan. "hari" akan jadi "malam", apa yang dimaksud dengan "hari" apa yang dimaksud dengan "malam"? "hidup" yang akan "berhenti/mati", atau semacam "dari kelam ke malam" dalam sajak chairil yang lain. 

ada beberapa dahan di tingkap merapuh. tingkap mungkin semacam jendela (kayu?). dalam buku syumanjaya yang membahas chairil ada semacam keterangan. sewaktu chairil sudah parah sakitnya, muntah darah mulu, dia kan tidur di semacam rumah kayu bertingkat, nah dia di lantai dua atau semacamnya. Terbayang kan, gambaran yang tampak di mata chairil, jendela terbuka, derai cemara di luar, hari mau jadi malam, ada dahan (bagian?) dari jendela yang merapuh (semacam sudah busuk dan mau lepas atau rontok kayunya sana-sini) kena hantam angin yang terpendam. nah, angin ini sukar diterjemahkan. sudah terasa kan suasananya. chairil sendiri (mungkin batuk2, dada sesak sakit, badan panas dingin, berulang-ulang muntah darah) melihat keluar jendela, dingin, angin menderaikan cemara, dahan jendela beradu dengan bibir jendela, seakan-akan atau memang mau jatuh karena sudah rapuh, serapuh tubuhnya waktu itu, serapuh keyakinannya. ada beberapa dahan di tingkap merapuh, tubuhnya juga merapuh, dipukul angin yang terpendam, angin yang menderaikan cemara, angin yang bikin hari terasa malam, angin yang memukul-mukulkan jendela, seperti dipukul-pukulnya dada/diafragma/perut oleh penyakit. 

entahlah, mungkin cemara itu chairil. hari jadi akan malam maksudnya kematian yang akan datang (ada pernah saya baca entah dimana, chairil percaya semenjak kita hidup, sejak itu juga mati itu hidup. maksudnya sejak kita hidup ya sejak itu mati sudah jadi teman kita. analoginya begini: manusia seperti sebuah gedung yang sejak selesai dibangun sudah dipasangi bom yang bisa kapan-saja meledak. bibit kematian sudah Tuhan tanam bersamaan dengan ditanamnya hidup. dahan di tingkap merapuh mungkin dahan sebagai keyakinannya yang mau hidup seribu tahun lagi, melawan mati. sementara  merapuh karena dahan itu (keyakinan) itu sudah lama dia pegang (lama=merapuh). dipukul angin yang terpendam. angin ini entah apa. mungkin kematian itu juga. saya bingung karena "terpendam". apa karena sebelumnya chairil memang sudah sadar bahwa dia kan mati juga. "aku mau hidup seribu tahun lagi" kan menunjukkan bahwa memang dia percaya ada kematian, maka dia menolak. jadi ada hubungannya dengan ingatan akan bibit kematian yang memang sudah dipendam Tuhan bersamaan dengan diberikannya hidup pada manusia.

mbuhlah. bait pertama adalah pembuka dengan kiasan yang kental sana-sini, yang pada bait selanjutnya dia bicara dengan terang.

mungkin perlu dilihat juga bagusnya asonansi dan aliterasi pada bait pertama:

cemara menderai sampai jauh 

cem - men - sam
ra - rai - pai

dan juga rima dalam:

cemara - terasa - beberapa
akan -dahan - yang
jadi -di

dan rima luar sudah kelihatan:

jauh - merapuh
malam - terpendam

selanjutnya beralih pada bait kedua.

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

bahas rima dulu, ya, rima dalam:

aku - dulu
aku- waktu - dulu - bu(kan)
sekarang - memang - bukan
waktu bukan - perhitungan
orangnya - ada
waktu - suatu - perhitu(ngan)

rima luar:

tahan - bahan
lagi - kini

aku sekarang orangnya bisa tahan/sudah berapa waktu bukan kanak lagi. ini kan lebih terang dari bait pertama. apa yang sekarang dia (yang diakuinya lebih dewasa dari yang dulu) bisa tahan? tahan akan bayangan kematian?

tapi dulu memang ada suatu bahan/yang bukan dasar perhitungan kini. bahan apa yang kini (setelah bukan kanak lagi) bukan lagi jadi dasar perhitungan? perhitungan dengan apa/siapa? 

bahan itukah keyakinannya yang semula, tentang hidup, tentang mati? entah apa keyakinannya semula, chairil mengakui bahwa ada yang berubah. mungkin semangat hidupnya, daya juangnya yang menyala-nyala dulu itu dia anggap sebuah bahan yang kekanak-kanakan? dan perhitungan dengan Tuhan, hidup dan kematian kini tidak didasari dengan itu lagi?

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

chairil sudah lama bergelut dengan kematian. banyak sekali sajaknya yang menyinggung-nyinggung kematian dari sajak pertamanya(?): Nisan hingga sajak terakhirnya. dan dia sudah terbiasa dan tahan dengan kematian. Tapi, diakui lebih lanjut memang dulu (selagi kanak?sebelum dia bisa tahan?) ada suatu bahan (pemikiran atau malah sikap) yang kini (setelah bukan kanak dan bisa tahan) tak diyakininya lagi. ada konsep yang goyang.

pada akhirnya, bait terakhir

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

ada aliterasi "h" pada (h)idup (h)anya menunda kekala(h)an 
aliterasi "t" pada (t)ambah (t)erasing dari cin(t)a sekolah rendah dan
dan (t)ahu, ada yang (t)e(t)ap (t)idak (t)erucapkan

rima luar:
kekalahan - terucapkan
rendah - menyerah

juga rima dalam:
hidup -tahu
menunda - tidak 
cinta - kita
ada - pada
ha(nya) - (ya)ng - akhir(nya) - me(nye)rah

bait ini lebih terang dari bait pertama dan kedua. akhirnya dia akui hidup hanya menunda kekalahan, kekalahan dari siapa/apa? dari Tuhan dan kematian? tambah terasing dari cinta sekolah rendah. atau yang tadi dimaksud dengan kekalahan ada hubungannya dengan cintanya pada seseorang? kekalahan dan terasing, apa hubungannya? apakah chairil merasa segala cintanya yang dulu-dulu hanya cinta "sekolah rendah", cintanya pada Sri Ajati hanya cinta, kesenangan, dan kesedihan yang kini terasa asing dan  digantikan oleh datangnya kematian yang rasanya dekat?

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah. yang tidak terucapkan itu tentang apa? menyerah pada apa/siapa? ada yang tetap tidak terucapkan tentang segala rasa cinta yang dia pendam? tentang penjabaran pemikiran chairil "hidup hanya menunda kekalahan"? sebelum dia menyerah pada kematian?

entahlah. 

chairil tahu dan yakin bahwa kematian ada dan dekat. hanya pada akhir hidupnya, dia lebih tenang menghadapi kekalahannya, tidak semenentang dulu. 

coba lihat puisi ini:

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949


bahkan dia berbenah, jika kau (kematian) datang?

entahlah. semua ini hanya pemikiran selintas lalu saya. lain waktu bisa berubah. demikian Hilda Rumambi


Utan Kayu, 29 Mei 2012
22:33

0 komentar:

Posting Komentar

Selidik

x

Tag