بسم الله الرحمن الرحيم

About

Sabtu, Februari 25, 2012

Siapa yang Akan Menghentikan Hujan? (Sajak Untuk Ida III)

seharian itu aku menanti
bukan untuk menanyakan
bahagia yang dulu pernah kau beri,
tapi untuk sekedar berjumpa
mengikis segala yang ada dan berada
dan sekiranya setelah itu
segala dendam dan asmara
kembali membisu,
mungkin itulah akhir penantian
untuk menghapus kau
dari dalam ingatanku

mengingat Bandung,
26-27/27-28 Mei 2011

Ida,
semakin aku tak menujumu
semakin aku menujumu.

Seorang Amerika dan seorang Jepang
berteduh di bawah pohon besar di dekat tikungan
dan setelah bosan memandangi hujan
dan menghisap-hisap rokok yang penghabisan,
yang seorang bicara kepada yang seorang lagi
dan keduanya mengedipkan mata beberapa kali
lalu mulai bernyanyi:

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
TH: Hujan adalah tanda marabahaya
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
TH: Hujan adalah tanda malapetaka

Lain diri tiba-tiba datang, entah dari mana.
Baju dan celananya kuyup, basah belaka,
dari bibirnya yang kehitaman muncul suara:

Suaramu sumbang, suaramu sumbang
Pergilah sana, pergilah sana
Suaramu sumbang, suaramu sumbang
Sini, sini, biar aku gantikan

Yang Jepang pergi dan memaki dalam hati
dan dua orang yang tinggal mulai bernyanyi,
lagi:

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Siapa yang mau kasih saputangan kering?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Siapa yang mau nyanyikan lagu yang lain?

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Dengar, Ida sudah bikin pernyataan
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Ida mengusir dengan tangis yang tak bisa ia tahan

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Basah kuyup aku mencari terminal
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Aku bertanya pada orang-orang yang tak kukenal

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Setengah pingsan aku tersasar ke Sukabumi
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Setengah menggigil aku melaju ke Bandung lagi

Lain diri menatap kawannya,
kawan yang baru ditemuinya,
dan berkata:

Suaramu sumbang, suaramu sumbang
Pergilah sana, pergilah sana
Biarkan aku bernyanyi,
Biarkan aku bernyanyi sendiri

Yang Amerika pergi dan memaki dalam hati
dan lain diri kembali bernyanyi
dengan suara yang hampir-hampir mati:

Selama aku masih ada di sini
Siapa yang akan menghentikan aku?
Siapa yang akan menghentikan aku?
Selama bayanganku masih jatuh di bumi
Siapa yang akan menghentikan aku?
Siapa yang akan menghentikan aku?

Lain diri bernyanyi lagi, maksudku: menggumam,
mengulang lagu yang hampir saja redam oleh hujan:

Siapa yang akan menghentikan aku?
Siapa yang akan menghentikan aku?

Seorang dari yang tadi, tak terang yang Jepang
atau yang Amerika berteriak kencang
dari jalan di depan yang sudah seperti lautan:

KAU TAK LEBIH DARI PENGECUT!

Lain diri kembali meneruskan
nyanyian yang terputus:

Siapa yang akan menghentikan aku?
Siapa yang akan menghentikan aku?

Seorang dari yang tadi, tak terang yang Amerika
atau yang Jepang berseru murka
dari jalan di depan yang sudah seperti samudera:

KAU HANYA BISA BERSUNGUT
DAN MERENGGUT!

Lain diri hampir-hampir tidak bisa bernyanyi lagi. Hanya bibirnya yang bergerak-gerak, mencoba mengatakan sesuatu yang kelihatannya penting, penting sekali:

Bagi aku rokok, sebatang saja kawan
Beri aku susu panas, seteguk saja kawan
Kau kira aku bisa bernyanyi semalaman,
mengulang-ulang lagu sedih yang membosankan?

Kawanku, harapan itu tidak serupa matahari,
dia pergi, tetapi akan selalu terbit kembali,
sedang padaku, kawan, harapan tak
lebih seperti kapal mati
yang tenggelam ke dalam lautan berombak
dan tak pernah muncul ke permukaan lagi.

Cimencok, 23-25 Februari 2012

sebelum 11:43 – 10:50

Kamis, Februari 23, 2012

Pertanyaan Untuk Teman

Mengapa pula
hendak kau masuki sorga
yang kuncinya tidak ada padamu?

Mengapa pula
hendak kau masuki sorga
yang pintunya tidak ada di situ?

Mengapa pula
hendak kau masuki sorga
tanpa mencari Aku lebih dahulu?

23 Februari 2012
19:45

Akhirnya Aku Jua

a
ku
jua
yang
kalah
sayang

dihempas gelombang
marah bertemu marah
keduanya berpagut
keduanya tak mau membelah

a
ku
jua
yang
basah
sayang

diruntuhi hujan
awan bertemu awan
keduanya berpagut
satu pulang
membawa kemelut
dalam ingatan

Cimencok, 23 Februari 2012
19:31

Kamis, Februari 16, 2012

Atap dan Frekuensi

untuk Bohar,
yang tak kunjung kembali
dari rantau,
dunia tanpa tepi

Hujan memuntahkan tangisnya dan meratap
di atas rumah Bohar yang tidak beratap,
tapi bahkan air tak mampu membasahi
puing-puing yang berserakan di sana-sini.
Karena memang tak ada dinding yang rubuh
maupun atap yang runtuh.

Rumah ini seperti rumah yang lain. Model biasa.
Hanya saja, saat terang bertukar derap dengan gelap,
langit pun akan berduka dan melepas iba,
karena rumah ini sama sekali tak punya atap.
Sejauh mata memandang ke hulu,
ke langitlah pandangan akan menuju.

"Atap hanya akan mengurangi frekuensi,
dan akan begitu menyesalnya aku nanti,
jika penampilanku setelah mati jelek sekali.
Kau setuju kan, Johnny?,"
Kata Bohar setelah melepaskan asap yang terakhir
dari rokok yang hampir basah semua terkena air,
seolah menjawab ratapan langit
serta pertanyaan yang kupikir sulit.

Televisi di depanku terus batuk dan mendesis,
seperti tetanggaku dahulu yang sakit tuberkulosis.
Dan aku hanya bisa melepas tanya di dalam hati,
"Idiot. Ada pertalian apa antara atap dan frekuensi,
juga frekuensi dan tampilan setelah mati?"
Bohar menoleh, “Kau setuju kan?”
Aku terkekeh dan kubilang,
"Itu urusan belakangan. Tak usah terlalu cemas.
Sebaiknya ku bantu kau berkemas-kemas.
Saraswati pasti senang tahu kau pulang, mas."

16 Februari 2012
hampir jam lima pagi

Sabtu, Februari 11, 2012

Itulah Mengapa

Benderang langit malam memancar dari balik jendela,
dan membutakan matamu.

Pertama itu terjadi, kau tutup mukamu dengan jemari,
mengira kau akan terkunci dalam kegelapan yang abadi;
tapi di dalam kepalamu yang kecil itu,
ada rasa ingin tahu yang mendadak bersorak dalam semangat menggebu;
dan kaulihat juga apa yang seharusnya tak kaulihat:
sepasang mata rembulan yang jernih dan bulat.
Dan tangannya yang halus tengah melemparkan pukat
ke ombak di tengah samudera
yang tak lain adalah dirimu, dirimu belaka.

Benderang langit malam memancar dari balik tirai kamar,
dan telah membutakan matamu.

Itulah mengapa kau tak lagi bicara,
sebagaimana layaknya manusia bicara.
Itulah mengapa kau tak lagi tertawa,
sebagaimana layaknya manusia tertawa.

Itulah mengapa hingga kini kau terus terjaga,
menunggu mati yang pasti tiba.

11 Februari 2012
sebelum jam sebelas hingga hampir tengah malam

Minggu, Februari 05, 2012

Mblekethu

Di seluruh penjuru negeri ini dan barangkali
juga di depan cerminku sendiri,
Burung-burung lebih memilih masuk ke dalam sangkar
merelakan sayap mereka runtuh dan terbakar

Kalau kau tak percaya padaku,
benturkan dulu kepalamu ke muka pintu
Karena (mungkin) hanya itulah cara yang tersisa
untuk menyembuhkan manusia yang bebal akan datangnya katastrofa

Aku juga barangkali sama bebalnya denganmu
(Walau aku benci mengakuinya)
Dan aku benci membenturkan kepalaku
(Walau sudah puluhan kali aku melakukannya)

Tak ada lagi yang bisa diharapkan
dari burung-burung yang memenjarakan dirinya sendiri
Karena mereka lebih suka bertahan
pada pisang, kroto, dan cacing yang tuan mereka beri

Dan perlu kuulang, mungkin aku tidaklah beda
dungumu – dunguku juga, tulimu – tuliku pula,
tapi mungkin saja tidak (o, aku suka bagian ini),
karena aku benci menggelepar sebagai budak (o, itu menyedihkan sekali)

Satu lagi yang perlu kuberitahu (kalau kau masih belum mengerti)
ini bukan tentang segala puisi
yang kau karang dan kau pandang setinggi Arsy
semua ini tentang mblekethu (satu kata yang artinya tak perlu kau cari)
                                                                                            

Dukuh C., 5 Februari 2012
menjelang teng pergantian hari cara Eropa

Selidik

x

Tag