untuk Bohar,
yang tak kunjung kembali
dari rantau,
dunia tanpa tepi
Hujan memuntahkan tangisnya dan meratap
di atas rumah Bohar yang tidak beratap,
tapi bahkan air tak mampu membasahi
puing-puing yang berserakan di sana-sini.
Karena memang tak ada dinding yang rubuh
maupun atap yang runtuh.
Rumah ini seperti rumah yang lain. Model biasa.
Hanya saja, saat terang bertukar derap dengan gelap,
langit pun akan berduka dan melepas iba,
karena rumah ini sama sekali tak punya atap.
Sejauh mata memandang ke hulu,
ke langitlah pandangan akan menuju.
"Atap hanya akan mengurangi frekuensi,
dan akan begitu menyesalnya aku nanti,
jika penampilanku setelah mati jelek sekali.
Kau setuju kan, Johnny?,"
Kata Bohar setelah melepaskan asap yang terakhir
dari rokok yang hampir basah semua terkena air,
seolah menjawab ratapan langit
serta pertanyaan yang kupikir sulit.
Televisi di depanku terus batuk dan mendesis,
seperti tetanggaku dahulu yang sakit tuberkulosis.
Dan aku hanya bisa melepas tanya di dalam hati,
"Idiot. Ada pertalian apa antara atap dan frekuensi,
juga frekuensi dan tampilan setelah mati?"
Bohar menoleh, “Kau setuju kan?”
Aku terkekeh dan kubilang,
"Itu urusan belakangan. Tak usah terlalu cemas.
Sebaiknya ku bantu kau berkemas-kemas.
Saraswati pasti senang tahu kau pulang, mas."
16 Februari 2012
hampir jam lima pagi
1 komentar:
:D
Anda benar-benar memberi saya ilham baru. Ilham yang sangat bagus.
Bahwa tiap penulis harus tahu (kata atau sesuatu) apa yang dia katakan.
Bahwa puisi bisa menunjukkan tingkat ke-tahu-an si penyair...
Apakah dia hanya sekedar menangkap kata yang lewat dan meninggalkan kebebasannya untuk berpikir, memilah, dan memilih, atau sebaliknya...
Terimakasih. Komentar terbaik sejauh ini.
Posting Komentar