بسم الله الرحمن الرحيم

About

Senin, April 16, 2012

Catatan April 2012

Tinggalkan aku setumpuk kertas dan sebuah pena
Maka kau tak akan mendapatkan apa-apa
Kertas-kertas itu akan bersih sebersih-bersihnya
Dan pena itu akan diam. Hilang gelora.

Mengabur sudah semua aksara
Tiap goresnya pecah berpendar dalam udara
Kemudian lenyap ditelan angin lalu
Seperti kembang api di malam tahun baru

Mata air telah kerontang, kawan
Dari air mata tak ada lagi puisi 
yang masuk dalam dekapan.


Utan Kayu, 16 April 2012
00:07

Senin, April 02, 2012

Melewati Putaran Pitam (Sajak Saduran)

O Johnny, orang kalah
Dengan dia, kemenangan tak hendak berkawan

Menggigillah dia dalam pakaiannya yang basah
Melewati putaran pitam

Melewati putaran pitam, orang kalah

Melewati putaran pitam
Menggigillah dia dalam pakaiannya yang basah
Melewati putaran pitam

Jika seseorang menemu seseorang
Melewati putaran pitam

Jika seseorang mengecup seseorang
Perlukah ada yang bersedu-sedan

Jika seseorang menemu seseorang

Melewati lembah yang penuh batu
Jika seseorang mengecup seseorang
Perlukah seluruh dunia tahu

Jika seseorang menemu seseorang
Melewati senja yang telah mati
Jika seseorang mengecup seseorang
Itu adalah urusan mereka sendiri

Jika seseorang menemu seseorang
Melewati jalanan berkerikil tajam
Perlukah yang lain mendendam
Pada sesuatu yang seseorang lakukan

Tiap lelaki memiliki kekasihnya dalam masa yang baru
Tidak! Mereka bilang: kebalikannya, Tuan!
Tapi belum semua gadis menyenyumi aku
Ketika melewati putaran pitam

Di antara keramaian, di situ ada pemuja
Yang cintanya belum aku balaskan
Tapi di mana rumahnya atau siapa namanya

Padamu... Ah! Aku tak hendak mengatakan


Utan Kayu Utara, 2 April 2012

09:40

Catatan:
Disadur oleh Johnny Wirjosandjojo dari puisi Robert Burns: Comin Thro' The Rye

Sabtu, Maret 31, 2012

Nyawa

Lampus sudah semua harapan berjumpa
lampus mengikuti lampusnya putaran nyawa
nyawa ditarik dan ditiupkan
nyawa tak lebih dari udara
dalam balon mainan

Kamar 8, 31 Maret 2012
02:39

Kamis, Maret 15, 2012

Sajak Untuk Hujan

untuk aku yang lebih menyukai hujan
ketimbang sedu sedan perempuan

Sudah, sudah, hisap kembali airmatamu yang hendak jatuh.
Jangan, jangan, jangan biarkan ada lagi yang bertemu
dan menetesi musimsilam yang telah jauh.
Aku tak hendak mengingkari
persetujuan yang sudah kutandatangani
dengan cuaca yang mengetuk-ngetuk jendelaku pagi ini.

Aku telah melawat ke langit yang lain
tempat kukecup segala rasa hujan yang asing
jerit air yang tak pernah dapat kutemukan
selagi aku masih dalam persembunyian:
langit sempit yang merampas
tempias gerimis mendung kelam

O hujan O langit O awan
lepas, lepas, lepaskanlah segala kelunya rindu
yang selama ini hanya bisa kau sampaikan
pada kayu bisu dan kaca yang tak dapat kau tembus

Sekarang inilah aku, aku sendiri
tanpa koma dan tanda baca lagi

Jadi percaya, percaya, percayalah!
Untuk sekarang dan selama kau mau:
Aku, tubuhku
adalah bunga-bunga layu
genteng-genteng kering penuh debu
yang mendambakan keberanianmu
untuk membawakan kebahagiaan
dalam setiap resah dan basah
desahmu yang dikibarkan angin yang marah.


Utan Kayu, Kamar 8 - Jalan Pramuka 33 Lantai 6 - Kamar 8
15 Maret 2012
dari jam 7-an pagi hingga malam sekitar jam 8-an

Sabtu, Februari 25, 2012

Siapa yang Akan Menghentikan Hujan? (Sajak Untuk Ida III)

seharian itu aku menanti
bukan untuk menanyakan
bahagia yang dulu pernah kau beri,
tapi untuk sekedar berjumpa
mengikis segala yang ada dan berada
dan sekiranya setelah itu
segala dendam dan asmara
kembali membisu,
mungkin itulah akhir penantian
untuk menghapus kau
dari dalam ingatanku

mengingat Bandung,
26-27/27-28 Mei 2011

Ida,
semakin aku tak menujumu
semakin aku menujumu.

Seorang Amerika dan seorang Jepang
berteduh di bawah pohon besar di dekat tikungan
dan setelah bosan memandangi hujan
dan menghisap-hisap rokok yang penghabisan,
yang seorang bicara kepada yang seorang lagi
dan keduanya mengedipkan mata beberapa kali
lalu mulai bernyanyi:

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
TH: Hujan adalah tanda marabahaya
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
TH: Hujan adalah tanda malapetaka

Lain diri tiba-tiba datang, entah dari mana.
Baju dan celananya kuyup, basah belaka,
dari bibirnya yang kehitaman muncul suara:

Suaramu sumbang, suaramu sumbang
Pergilah sana, pergilah sana
Suaramu sumbang, suaramu sumbang
Sini, sini, biar aku gantikan

Yang Jepang pergi dan memaki dalam hati
dan dua orang yang tinggal mulai bernyanyi,
lagi:

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Siapa yang mau kasih saputangan kering?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Siapa yang mau nyanyikan lagu yang lain?

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Dengar, Ida sudah bikin pernyataan
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Ida mengusir dengan tangis yang tak bisa ia tahan

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Basah kuyup aku mencari terminal
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Aku bertanya pada orang-orang yang tak kukenal

CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Setengah pingsan aku tersasar ke Sukabumi
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
CCR: Siapa yang akan menghentikan hujan?
Setengah menggigil aku melaju ke Bandung lagi

Lain diri menatap kawannya,
kawan yang baru ditemuinya,
dan berkata:

Suaramu sumbang, suaramu sumbang
Pergilah sana, pergilah sana
Biarkan aku bernyanyi,
Biarkan aku bernyanyi sendiri

Yang Amerika pergi dan memaki dalam hati
dan lain diri kembali bernyanyi
dengan suara yang hampir-hampir mati:

Selama aku masih ada di sini
Siapa yang akan menghentikan aku?
Siapa yang akan menghentikan aku?
Selama bayanganku masih jatuh di bumi
Siapa yang akan menghentikan aku?
Siapa yang akan menghentikan aku?

Lain diri bernyanyi lagi, maksudku: menggumam,
mengulang lagu yang hampir saja redam oleh hujan:

Siapa yang akan menghentikan aku?
Siapa yang akan menghentikan aku?

Seorang dari yang tadi, tak terang yang Jepang
atau yang Amerika berteriak kencang
dari jalan di depan yang sudah seperti lautan:

KAU TAK LEBIH DARI PENGECUT!

Lain diri kembali meneruskan
nyanyian yang terputus:

Siapa yang akan menghentikan aku?
Siapa yang akan menghentikan aku?

Seorang dari yang tadi, tak terang yang Amerika
atau yang Jepang berseru murka
dari jalan di depan yang sudah seperti samudera:

KAU HANYA BISA BERSUNGUT
DAN MERENGGUT!

Lain diri hampir-hampir tidak bisa bernyanyi lagi. Hanya bibirnya yang bergerak-gerak, mencoba mengatakan sesuatu yang kelihatannya penting, penting sekali:

Bagi aku rokok, sebatang saja kawan
Beri aku susu panas, seteguk saja kawan
Kau kira aku bisa bernyanyi semalaman,
mengulang-ulang lagu sedih yang membosankan?

Kawanku, harapan itu tidak serupa matahari,
dia pergi, tetapi akan selalu terbit kembali,
sedang padaku, kawan, harapan tak
lebih seperti kapal mati
yang tenggelam ke dalam lautan berombak
dan tak pernah muncul ke permukaan lagi.

Cimencok, 23-25 Februari 2012

sebelum 11:43 – 10:50

Kamis, Februari 23, 2012

Pertanyaan Untuk Teman

Mengapa pula
hendak kau masuki sorga
yang kuncinya tidak ada padamu?

Mengapa pula
hendak kau masuki sorga
yang pintunya tidak ada di situ?

Mengapa pula
hendak kau masuki sorga
tanpa mencari Aku lebih dahulu?

23 Februari 2012
19:45

Akhirnya Aku Jua

a
ku
jua
yang
kalah
sayang

dihempas gelombang
marah bertemu marah
keduanya berpagut
keduanya tak mau membelah

a
ku
jua
yang
basah
sayang

diruntuhi hujan
awan bertemu awan
keduanya berpagut
satu pulang
membawa kemelut
dalam ingatan

Cimencok, 23 Februari 2012
19:31

Kamis, Februari 16, 2012

Atap dan Frekuensi

untuk Bohar,
yang tak kunjung kembali
dari rantau,
dunia tanpa tepi

Hujan memuntahkan tangisnya dan meratap
di atas rumah Bohar yang tidak beratap,
tapi bahkan air tak mampu membasahi
puing-puing yang berserakan di sana-sini.
Karena memang tak ada dinding yang rubuh
maupun atap yang runtuh.

Rumah ini seperti rumah yang lain. Model biasa.
Hanya saja, saat terang bertukar derap dengan gelap,
langit pun akan berduka dan melepas iba,
karena rumah ini sama sekali tak punya atap.
Sejauh mata memandang ke hulu,
ke langitlah pandangan akan menuju.

"Atap hanya akan mengurangi frekuensi,
dan akan begitu menyesalnya aku nanti,
jika penampilanku setelah mati jelek sekali.
Kau setuju kan, Johnny?,"
Kata Bohar setelah melepaskan asap yang terakhir
dari rokok yang hampir basah semua terkena air,
seolah menjawab ratapan langit
serta pertanyaan yang kupikir sulit.

Televisi di depanku terus batuk dan mendesis,
seperti tetanggaku dahulu yang sakit tuberkulosis.
Dan aku hanya bisa melepas tanya di dalam hati,
"Idiot. Ada pertalian apa antara atap dan frekuensi,
juga frekuensi dan tampilan setelah mati?"
Bohar menoleh, “Kau setuju kan?”
Aku terkekeh dan kubilang,
"Itu urusan belakangan. Tak usah terlalu cemas.
Sebaiknya ku bantu kau berkemas-kemas.
Saraswati pasti senang tahu kau pulang, mas."

16 Februari 2012
hampir jam lima pagi

Sabtu, Februari 11, 2012

Itulah Mengapa

Benderang langit malam memancar dari balik jendela,
dan membutakan matamu.

Pertama itu terjadi, kau tutup mukamu dengan jemari,
mengira kau akan terkunci dalam kegelapan yang abadi;
tapi di dalam kepalamu yang kecil itu,
ada rasa ingin tahu yang mendadak bersorak dalam semangat menggebu;
dan kaulihat juga apa yang seharusnya tak kaulihat:
sepasang mata rembulan yang jernih dan bulat.
Dan tangannya yang halus tengah melemparkan pukat
ke ombak di tengah samudera
yang tak lain adalah dirimu, dirimu belaka.

Benderang langit malam memancar dari balik tirai kamar,
dan telah membutakan matamu.

Itulah mengapa kau tak lagi bicara,
sebagaimana layaknya manusia bicara.
Itulah mengapa kau tak lagi tertawa,
sebagaimana layaknya manusia tertawa.

Itulah mengapa hingga kini kau terus terjaga,
menunggu mati yang pasti tiba.

11 Februari 2012
sebelum jam sebelas hingga hampir tengah malam

Minggu, Februari 05, 2012

Mblekethu

Di seluruh penjuru negeri ini dan barangkali
juga di depan cerminku sendiri,
Burung-burung lebih memilih masuk ke dalam sangkar
merelakan sayap mereka runtuh dan terbakar

Kalau kau tak percaya padaku,
benturkan dulu kepalamu ke muka pintu
Karena (mungkin) hanya itulah cara yang tersisa
untuk menyembuhkan manusia yang bebal akan datangnya katastrofa

Aku juga barangkali sama bebalnya denganmu
(Walau aku benci mengakuinya)
Dan aku benci membenturkan kepalaku
(Walau sudah puluhan kali aku melakukannya)

Tak ada lagi yang bisa diharapkan
dari burung-burung yang memenjarakan dirinya sendiri
Karena mereka lebih suka bertahan
pada pisang, kroto, dan cacing yang tuan mereka beri

Dan perlu kuulang, mungkin aku tidaklah beda
dungumu – dunguku juga, tulimu – tuliku pula,
tapi mungkin saja tidak (o, aku suka bagian ini),
karena aku benci menggelepar sebagai budak (o, itu menyedihkan sekali)

Satu lagi yang perlu kuberitahu (kalau kau masih belum mengerti)
ini bukan tentang segala puisi
yang kau karang dan kau pandang setinggi Arsy
semua ini tentang mblekethu (satu kata yang artinya tak perlu kau cari)
                                                                                            

Dukuh C., 5 Februari 2012
menjelang teng pergantian hari cara Eropa

Kamis, Januari 26, 2012

Dalam Nadiku Tiada Ahimsa

Apabila nanti kau datang lagi dalam usia senja
Jangan salahkan aku jika aku bilang, “Untuk apa,
Dalam nadiku tiada ahimsa”

Lalu kau akan menjawab, “Andai waktu mau kembali...”
“Waktu datang dan pergi, datang dan pergi, selalu. Dan selama itu,
Dendam berseru sendiri”

“Sejarah bisa diulang!”, mukamu merah-padam
“Sejarah berulang tapi tak pernah sama, dan pada kesumat yang dalam,
Aku menyerah – hilang suara!”

Dalam nadiku tiada ahimsa
Dendam berseru sendiri
Aku menyerah – hilang suara!


Cimencok, 25 -26 Januari 2012
dari awal malam hingga pagi menjelang

Rabu, Januari 25, 2012

Penantian

Mati,
Mati,
Mati,
dan seterusnya,
dan sebagainya,
dan lain-lain. Apa pedulimu!
“...aku juga, Ramaparasyu...”

Jika dendam tak kunjung mendapatkan pelepasan
karena isi kepala dan dada
tak tahu mana arah mana tujuan,
akan terus beginikah tubuh,
kerontang menahan nyawa yang belum jua mau meluruh,
berpitam pada seribu bayangan yang tak hendak menjauh?

Dunia seakan hanya selebar taman
yang dapat diputari dalam sepuluh-duapuluh langkah ringan
hingga tak ada lagi yang perlu dicari,
seluruh hidup sudah terenggut oleh satu duri
dan hanya manusia yang gila akan kepedihan
yang akan menaiki garis yang sama lebih dari tiga kali

Hampa, hampa – dan hampa belaka
hanya masa lalu yang berpijar dalam mata
jadi raja dari segara luka
pula kepala belum lagi dapat merasai
hangat dan dinginnya haridepan yang datangnya
pasti dan tak tertahankan

O, betapa mengerikannya masamuda!
dunia terlalu rakus untuk merebut segala
belum lagi surya yang menimpa terus
menghilang dan beredar tanpa putus
terjaga, terjaga, dan terjaga lagi!
tak ada habisnya!
pada kertas mati aku terus bicara
bicara sendiri tanpa aksara!

Ah! Aku mandi gelap, cahaya pula
gelap dan terang bertukar-tukar,
tak tahu bibir siapa yang ingin kubakar
dan bila benar air di hilir juga akan kembali ke hulu,
Tuhan,... aku minta bagianku

25 Januari 2012
sehabis jam tiga sore

Selidik

x

Tag