بسم الله الرحمن الرحيم

About

Selasa, Desember 28, 2010

Pulang

Kapan aku akan bangun
dan segera pulang, Tuhan?
Dari segala mimpi menahun
yang tak terbantahkan

Sakit dan nyeri tak kuasa lagi kutahan-kuredam
Seribu palu godam menekan caya-Mu hingga pupus-padam

Aku tak mengerti...
Dalam gulita nyeriku makin jadi
Sepi meruak, menggila dan makin semarak.


Seekor tikus berlari melintasi jarak, 
jatuh gelas pecah berserak.

Senin, Desember 27, 2010

Sidang Tanpa Manusia

Sudah kubilang,
ini sidang tanpa manusia
kau dan aku tak perlu datang
karena kita tak punya suara.

Sabtu, Desember 18, 2010

Tak Ingin Kembali

Dalam mimpi: aku berlari
menyusuri pematang
terus berlari
melewati ladang lapang.

Tepat di seberang ladang
kutemukan sebuah kebun bambu
yang bila angin datang mencumbu
akan terdengar sebuah lagu merdu
mungkin itu rock 'n' roll,
atau cuma nyanyian cengeng-tolol.

Ah, persetan segala bunyi-segala dengus!

Rasanya aku terpukau
dan mulai terbius
semua luka senyap-mampus!

Belenggu?
Remuk-putus!

Tidak Tuhan,
jangan titahkan aku
kembali berlari dan terantuk batu
Kau tahu: aku tak mau.

Tuhan,
kuingin menari saja
agar sunyi segala nestapa.

Jumat, Desember 10, 2010

Dalam Perang dan Damai

Dalam perang dan damai
aku tak hendak hanyut-terbuai,
jadi kutempuh saja itu terang
meski menghadang parang
di tengah padang.

Moga-moga tak 'kan ada lagi sakit
menggenang di ujung bait.

Senyummu Mati Sudah

Dalam gelap ku mulai meracau
bayangmu hanyut-hilang,
dan pendar-panasmu jadi kau!

Ah! Gadis,
mau ku seperti dulu:
aku dan kau duduk di dangau
terus bercakap dan menghisap tembakau
sambil mengusir burung gelatik
yang selalu sepi saat turun rintik.

'Kan kutatap muka-matamu yang lentik
hingga detik tak kuasa jadi menit
hingga manis tak lagi ingat pahit.

Semua bayang kini hangus
jadi tanah
jadi debu
dua puluh empat purnama pun berlalu
dan gundah-resah kian mengilu
aku mulai gila dan membisu di kuburan
meski sering kau bilang
jangan bersekutu dengan setan.

Siapa peduli!
Kuingin kau!

Tapi, senyummu kini redup,
tak mau kembali hidup
mati sudah,
mungkin Tuhan marah
padaku yang lupa arah.

Senin, Oktober 25, 2010

Boneka

Pulang kondangan,
aku dan kau berhenti di jembatan
yang penuh tambalan dan juga: iklan,
slogan yang belum juga siuman

Sayang, selamanyakah kita mesti bergenggam tangan?
atau kulempar saja kau
ke dalam selokan?

Aku terlampau bosan
dengan segala senyuman
dan mulutmu yang selalu berbusa,
orang bilang kau sakit dan gila,
tapi aku percaya: setan lagi bikin rencana.

Langit hitam-pekat
dan terus meluncur saja
segala kalimat
bak daun diserbu jemaat ulat.

Kawanku selalu bilang:
inilah waktunya kau berdaulat
'habisi berjuta penat,
kubur dia dalam tanah
biar tak lagi mendesah menjadi resah

Tapi kau memang begitu hebat dan egois
kau sumpal lidahku dengan selusin ciuman manis
Ah! Aku cinta kau gadis
terlampau lemah menolak segala bingkis.

Kau gandeng aku pulang
dan aku tenggelam
seperti boneka malang
yang terus bertanya kapan
akan berganti tuan.

Ah! Rokokku terus nyala
mengasapi sepasang udara

Kumatikan lampu dan semua lilin
membiarkan mati begitu saja
cahaya yang begitu nyala di hari kemarin.

Tuhan, ragu dan gundah terus berpilin
nada yang resah terus bermain.

Sabtu, Oktober 23, 2010

Bakso Barito di Depan Makam

Di pangkuanku,
sepuluh tahun yang lalu
gadiskecilku bertanya:
Yah, di manakah Barito
dan lebarkah sungai Mahakam?

Tadi malam
sehabis makan,
perawanmudaku bertanya:
Pap, bolehkah aku bertato
dan jalan-jalan ke kelab malam?

Aku bilang:
sayang, beli bakso di depan
bungkus satu bawa ke makam.

Senyummu Berganti Rena

Ah, senyummu berganti rena
seperti daun singkong yang mulai tua.

Basah terasa di pipi
jadi bercak di kerah kemeja
yang baru kemarin kau beli
dari sebuah toko tua
di seberang gereja.

Kulihat bunga kamboja
dari pucuk-pucuk yang paling tinggi
menghujani tanah astana
seolah ini kemelut
patut disambut.

Di atas sana
langit mendung belaka

Tuhan,
rampas juga ini senyum di bibir
biar kami sama rata,
hidup dan mati bersia-sia
biar meraja semua hampa
dan tirai mulai jatuh
pertanda akhir cerita
tak lagi jauh.

Mati kumau
adakah kau di situ?

Kamis, Oktober 21, 2010

Cahaya Tetap Nyala

Tubuhmu beku
di timbunan daun bambu
di tepi jalan
tanpa gairah, tanpa naungan

Mukamu pucat-kurus,
tak terurus

Siapa berdosa?
bukan itu yang hendak kutanya

Nyawa itu tetap nyawa!
begitu juga berjuta lainnya

Tapi mengapa seolah Kau biarkan,
Iblis dan segala setan
bebas mengupil
dan tertawa di jalan.

Suratkabar dengan lugunya
mewartakan bahwa kini dan nanti
Tuhan sudah masuk lemari
biar membusuk, lemas lalu mati
atau dicor saja dalam jembatan
biar lalu-lintas selalu aman
dan ekonomi naik-terbang ke bulan.

Aku menangis
dan terus bertanya
siapa yang pantas 'tuk dibela?

Aku terus menangis
dan tetap bertanya
siapa yang pantas 'tuk dibela?

Tandas-habis itu tangis
saat seorang kawan
yang asalnya sering kulupa:
Jombang atau Lamongan?
menyampaikan surat bergaris
dengan sebuah pita hitam yang manis.
Sejuta cahaya berbaris!

Ya Tuhan,
begitukah keadilan?

Ada banyak topeng
yang menjelma jadi muka

Rugi dan laba jadi pegangan
agama dan budaya ditaruh di bagasi
bawa ke jembatan
lalu dibuang ke kali
hingga manusia selalu kaget
dan cerewet
saat Kau kirim kematian
dengan bentuk
yang mengundang kutuk.

Tuhanku, biar suratkabar berkoar-koar
aku tak peduli!
biar kuhapus sendiri
ini noda di pipi.

Alhamdulillah merekah
dan persetan segala keluh-kesah.

Rabu, Oktober 20, 2010

Syair Apatis

Cakrawala muda,
matari membentang caya! (teriakmu siang ini)

Apalah guna pemuda!
Tokh, mawar yang kemarin merekah-megah
kini jadi debu dikacau arah.

Jadi apa manusia?
matari bosan juga kurasa.

Pulang sayang,
sebelum tanah keburu hitam
tempat bersilang segala pitam.

Jadilah mengerti!
Itu tangan dan kaki,
suara dan segala bunyi,
bukanlah besi
yang dengan senanghati
bisa kautusukkan ke pantat babi.

Kira kaukah
selongsong peluru?
Tembus barisan berpistol-bersepatu,
dengan modal kertas kumal di saku
dan sebuah hati yang teramat lugu?

Sayang, kulihat kaki ibumu hampir lumpuh
terus terisak, terus bersimpuh
airmatanya membasahi bibir sumur yang berlumut,
memohon pada Tuhan dan terus berlutut
semoga jangan datang maut,
menekan-nekan jidatmu ke ketiak rumput.

Sayang, perlu kau menumpah darah?
'ikuti jejak gempita semua arah,
jadi boneka:
diseret-seret gairah sejarah?

Kamis, Juli 29, 2010

Ha!

Rupamu bertopeng kabut
kaukah maut?
atau sekadar kalut
yang sebentar mampir
menggigilkan pikir,
kacaukan bibir?

Rangkaku lenyap?
dihantam senyap-menyengat?
atau jadi bubuk
dimakan rayap?

Ah, minggir kau!
Enyah!

Kau mau ku berjabat tangan?!
lemah-duduk-tunduk
pertanda segan?!

Huh!
Ha! Ayoh putar mata
cari kemana mukaku!

Siapatahu: kau tak tahu
Siapatahu: kau lupa
Siapatahu: kau buta

Haha! Aku tak gemar berjudi.
Sekadar mempertautkan
emosi dan bunyi

Kau geram?,
tawaku makin jadi
Ha!

Pipit

Mau apa kau suara?

Malam sunyi,
siang mati:
langit mendung
menjemukkan!

Membisik angin berkata-kata
antara Bogor - ibukota,
menyusup caya:
hitam?
merah, biru?

Coklat Surat

Ah, M.
pada pahatan tinta
yang dingin-redup kemarin:
aku menanti

senyummu cepat
menuju tangis pilu

atau sepi itu tangis
ramai bunyi langkah
pawai berbaris?

tahu aku 'pastiannya:
silangkan tangan,
menguping dengar
hingga ramai suara
lenyap-sepi-menghambar

Ah, gadis,
dadaku terlantar
tergolek-menghampar

gelisah tak kuasa berkelesah
resah menggundah tanah
di muka pasar.

Selidik

x

Tag